5 Hal yang Saya Pelajari dari Kegagalan di LPDP Batch 1 2025

Pengalaman LPDP

Hari ini adalah penutupan pendaftaran LPDP Batch 2 2025. Di luar sana saya yakin masih akan ada banyak sekali calon awardee yang masih belum bingung dengan berbagai macam isian form dan upload kelengkapan data administrasi LPDP 2025. Persis yang saya rasakan beberapa bulan yang lalu.

Dan alhamdulillah, pada penutupan pendaftaran LPDP batch 2 kali ini saya jauh lebih tenang. Berikut ini beberapa di antara perbedaan yang saya rasakan dari LPDP batch 1 dan LPDP batch 2 di tahun 2025 ini. 

1. Fokus TOEFL Dulu

Diakui atau tidak, TOEFL merupakan salah satu persyaratan yang seringkali menjadi momok bagi sebagian calon awardee. Tidak mengherankan karena bahasa Inggris memang bukan bahasa utama kita. Jangankan bahasa utama, bahasa kedua pun tidak. Sebagian besar masyarakat Indonesia menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia lebih dulu baru belajar bahasa Inggris.

Untuk daftar LPDP dalam negeri, saya sarankan pakai TOEFL ITP saja. Yang jauh lebih terjangkau dan relatif lebih 'mudah'. Karena materi ujiannya tidak ada writing dan speaking yang seringkali menjadi momok bagi para mahasiswa. Dan kalau memungkinkan, ambil pilihan ujian yang online saja, biar tidak perlu menghabiskan waktu dan biaya untuk perjalanan ke tempat ujian. 

Karena saya dulu telat daftar online, akhirnya ujian offline di Unair, Surabaya. Padahal tempat tinggal saya ada di Mojokerto. Dan perjalanan dari rumah ke Unair butuh waktu sekitar 1.5 jam. Itu artinya saya menghabiskan 3 jam sendiri untuk perjalanan pergi-pulang dari rumah ke Unair.

Kenapa saya sarankan fokus TOEFL dulu? karena masa aktif sertifikat TOEFL itu cukup lama, sampai 2 tahun. Jadi satu sertifikat TOEFL yang kita dapatkan itu bisa digunakan untuk mendaftar LPDP sampai 4 kali.

2. Tentukan Tujuan Akhir

Salah satu pelajaran besar yang saya petik dari pengalaman ikut batch 1 adalah pentingnya menentukan tujuan akhir sejak awal. Tujuan akhir ini bukan cuma soal kampus atau jurusan yang dituju, tapi juga tentang alasan kenapa kita ingin melanjutkan studi, apa dampaknya bagi karier kita, dan bagaimana kontribusi kita nanti setelah lulus.

Saya menyadari bahwa banyak dari kita terlalu fokus pada teknis administrasi—seperti syarat TOEFL, upload dokumen, dan deadline—tanpa sempat benar-benar merenungkan: apa sebenarnya alasan kita ingin kuliah lagi? LPDP tidak hanya mencari orang yang pintar, tapi juga orang yang punya visi dan rencana yang jelas.

Menentukan tujuan akhir ini akan sangat membantu saat menulis esai, menyusun rencana studi, memilih kampus, hingga saat wawancara nanti. Dengan punya arah yang jelas, kita akan lebih percaya diri dan tidak mudah goyah dalam proses seleksi yang panjang.

3. Cicil Esai Sejak Dini

Esai adalah salah satu bagian paling penting dalam pendaftaran LPDP. Sayangnya, banyak yang menunda-nunda dan akhirnya menulis esai dalam keadaan terburu-buru. Saya pribadi sempat mengalami ini di batch 1 dan hasilnya kurang maksimal—bukan karena saya tidak punya pengalaman atau ide, tapi karena saya tidak punya cukup waktu untuk meramunya menjadi tulisan yang menyentuh dan meyakinkan.

Padahal esai LPDP bukan esai biasa. Di sana kita diminta untuk menyampaikan gagasan, pengalaman hidup, motivasi, dan kontribusi yang akan kita berikan. Semua itu butuh waktu untuk direnungkan, ditulis, direvisi, dan disempurnakan.

Di batch 2, saya mulai menulis esai sejak jauh-jauh hari. Saya diskusikan drafnya dengan teman, minta masukan dari orang yang sudah pernah lolos, dan memperbaikinya berkali-kali. Hasilnya jauh lebih memuaskan dan mewakili diri saya yang sebenarnya.

4. Perbanyak Jaringan untuk Referensi (Pemberi Rekomendasi)

Satu lagi pelajaran penting yang saya pelajari adalah pentingnya membangun jaringan lebih awal, khususnya untuk kebutuhan surat rekomendasi. Banyak pendaftar LPDP bingung di menit-menit terakhir karena belum tahu siapa yang bisa diminta jadi pemberi rekomendasi, atau bahkan belum pernah berinteraksi intens dengan calon pemberi rekomendasi.

Padahal surat rekomendasi bukan hanya formalitas. LPDP benar-benar membaca dan menilai isi surat tersebut. Oleh karena itu, pilihlah orang yang benar-benar mengenal kita, tahu potensi dan perjalanan kita, serta bisa memberikan rekomendasi yang kuat dan jujur.

Kalau kita sudah punya bayangan siapa yang akan dimintai rekomendasi, jangan sungkan untuk membangun komunikasi sejak awal. Ceritakan niat kita, minta waktu mereka jauh-jauh hari, dan bantu mereka dengan informasi yang dibutuhkan agar mereka bisa menulis surat yang baik. 

5. Jangan Mengisi Form Langsung di Web

Salah satu kesalahan teknis yang dulu saya lakukan adalah langsung mengisi form LPDP di website tanpa menyimpan salinan offline terlebih dahulu. Akibatnya, ketika koneksi internet bermasalah atau sesi login habis, data yang sudah diisi bisa hilang begitu saja. Itu sangat melelahkan secara mental.

Di batch 2, saya lebih berhati-hati. Saya menyalin semua pertanyaan di form ke file offline (Word atau Google Docs), lalu mengisinya satu per satu di sana. Setelah yakin isian saya sudah rapi, baru saya salin ke website pendaftaran LPDP. Cara ini lebih aman, lebih tenang, dan memungkinkan kita mengecek ulang isiannya dengan lebih fokus.

Selain itu, menulis offline juga membantu kita melihat gambaran keseluruhan dari jawaban kita—apakah sudah konsisten, apakah kalimatnya sudah meyakinkan, dan apakah sudah cukup merepresentasikan diri kita.

----------

Itulah lima pelajaran penting yang saya petik dari pengalaman mengikuti proses seleksi LPDP batch 1 tahun 2025. Setiap tahapan memang menantang, tapi justru dari proses itulah saya belajar banyak—bukan hanya soal teknis administrasi, tapi juga tentang mengenal diri sendiri, menyusun tujuan hidup, dan membangun jaringan yang bermakna. Semoga pengalaman ini bisa membantu teman-teman yang sedang atau akan mendaftar di batch berikutnya. Ingat, LPDP bukan sekadar beasiswa, tapi sebuah perjalanan untuk tumbuh dan memberi kontribusi yang lebih besar bagi negeri. Semangat berproses, dan semoga dilancarkan!